titikputih.

18.5.04

"Hidup itu seperti film porno," katanya

Nggak peduli dimana lokasinya. Di penthouse, di rumah mewah, di dalam mobil van, di dalam gua, di penjara bawah tanah, di hotel murahan, pada akhirnya sama saja: Meregang, mengejang, kemudian lemas tak berdaya.

Berapapun besarnya biaya produksi yang dikeluarkan, besar ataupun kecil, pada akhirnya sama saja: Meregang, mengejang, kemudian lemas tak berdaya.
Apapun kamera yang dipakai, handycam atau kamera pro, pada akhirnya sama saja: Meregang, mengejang, kemudian lemas tak berdaya
Berapapun banyaknya kru yang terlibat, banyak ataupun hanya berdua, pada akhirnya sama saja: Meregang, mengejang, kemudian lemas tak berdaya.
Siapapun yang menonton, abang becak atau pun eksekutif muda, pada akhirnya sama saja: Meregang, mengejang, kemudian lemas tak berdaya.
Siapapun yang ada di film, Asia Carera ataupun Murti si tukang sayur, pada akhirnya sama saja: Meregang, mengejang, kemudian lemas tak berdaya.
Bagaimanapun proses penggarapannya, amatir atau profesional, pada akhirnya sama saja: Meregang, mengejang, kemudian lemas tak berdaya

Memang sih selalu saja ada orang-orang ‘ajaib’ yang punya ide bikin film bokep ‘aneh’. Dari mulai fetish, bondage, torture, femdom, animal, pedo, gang bang, anal, cum drinking, dan ‘variasi’ aneh lainnya. Tapi so what?!
Dari ratusan klip bokep yang pernah gua tonton (baik yang ‘full-version’ maupun yang ‘kepotong’) semuanya hampir sama. Terlepas dari masalah gender, bombastisasi sex, explorasi (hampir setiap) lubang di tubuh manusia, expresi dan suara yang dibuat buat, semua film porno terkesan monoton. Gayanya gitu gitu juga, kostumnya gitu gitu juga (telanjang), pada intinya gitu gitu juga (sex), omongannya gitu gitu juga (Uh.. Oh.. Mmm... Arggghh.....).

“Masa tiap bokep gak ada bedanya??”
“Ya pasti ada,” kataku “Tapi yang beda cuman kemasan, cara produksi, posisi, jumlah pemain, dan semecamnya.”
“Terus kenapa lu masih nonton bokep, kalo gitu?” Tanyanya sambil manyun, sewot
“Kesenangan sexual,” kataku santai
“Cuma buat itu?”
“Ya~.. imajinasi, pengetahuan, observasi, penasaran, ngabisin waktu, ... Ach! Kasih gua waktu dua hari, gua bisa ngarang ratusan alesan alesan lain yang lebih gak masuk akal, bahkan yang paling naif sekalipun kayak: men-tafakur-i ciptaan-Nya. Tapi semuanya bullshit! Gua dan mungkin kebanyakan orang nonton bokep buat kesenangan sexual.”

Hidup ini keliatannya gitu gitu juga. No matter what you do, how freak your life is, how different your life is, pada akhirnya gitu gitu juga: Meregang, mengejang, kemudian lemas tak berdaya.
Innalilahi Wa Inna Ilaihi Roji’un.

“So... what life is for kalo sama sama aja?”
“Banyak.”
“Apa aja?”
“Ach, elu banyak nanya banget sih! Cari sendiri dong!” Aku mulai males ngobrol dengannya.
“Kalo gua tahu, gua gak kan nanya.”
“Lu males mikir, bukan gak tahu. Lagian jawabannya beda untuk tiap orang!” Aku mulai berdiri, siap siap pergi.
“Jadi... dimana nyari jawabannya?” Aduhh.. pertanyaannya makin gak mutu.
“Di memek emak, lu!!” kataku asal sambil pergi.

Sejak itu dia selalu menghindariku. Entah karena sudah dapet jawaban dari emak-nya atau menganggap kalo gua cowok egois yang tidak punya sopan santun, yang jelas dia tidak mau lagi kutelepon jam 11 malem. Dia juga berenti mengajakku clubbing di Zouk, nonton film di bioskop dan shopping di Orchard. Electronic greeting cards, forwarded emails, motivational quotes, bahkan SMS dari dia pun berhenti masuk ke Inbox-ku.

*

Dua puluh tiga tahun kemudian aku ketemu dia tanpa sengaja di sebuah mall di Melbourne –dunia ini emang kecil, pikirku. Setelah basa basi dan segala macam nostalgia akhirnya, dia cerita soal kehidupannya. Anak-nya dua, yang paling besar kelas dua SMP, suaminya orang bisnis merangkap anggota DPRD Sumatera Utara. Di Medan dia punya rumah 2, mobil 4 (yang paling baru kado ultah perkawinan ke 20), dia juga suka bisnis valas dan saham. Disini dia sedang berlibur bersama gang arisan-nya.
Aku cuma senyum dan sesekali tertawa mendengar cerita kehidupannya yang jauh berbeda denganku. Belom menikah, belom punya anak, belom punya rumah, belom punya mobil, belom punya bisnis dan masih bingung soal alesan yang tepat kenapa aku pindah ke Melbourne.

“Untung lu gak denger omongan memek emak lu waktu itu,” kataku sambil tertawa sinis.
“Hah? Memek?!” katanya sambil tertawa setelah menyemburkan asap dari mulutnya.
“Never mind. Menjalani sering kali lebih mudah daripada memikirkan.”
“Kamu tetep, deh. Masih suka ngomong yang gak jelas.” Sambil menyenggol tanganku.

Sore itu aku menemaninya (dan ibu ibu muda lainnya) belanja, lalu kita berdua nonton film di bioskop dan pergi clubbing. Hari itu ditutup dengan sex-sebelum-tidur yang lumayan hard-core. Dari studio apartemen murahan yang berantakan di sudut kota Melbourne itu, suara lenguhannya beradu volume dengan lenguhan dari film porno yang menemani malam itu.
Dan suara dia menang!


0 Comments:

Post a Comment

<< Home