Hyperreality Shows
Kemaren-kemaren (bbrp bulan lalu) temen-temen pada ngomongin American Idol. Mereka juga ngerekomendasi saya untuk nonton. Tapi karena saya tidak punya TV, jadi saya baru sempet liat bulan lalu. Gak tahu season berapa, yang jelas waktu jamannya si William Hung.
Saya liat beberapa orang yang (terlalu) percaya diri dipermalukan. Ada ketawa, ada nangis, ada pelukan, ada cacian... Sejak nonton yang pertama itu saya gak pernah nonton American Idol lagi.
Sudah sejak lama saya berenti nonton Survivor karena (menurut saya) terlalu mengekspose soal konspirasi dan saling menjatuhkan. Hence, (buat saya) bukan tontonan sehat.
Kalo liat tulisan sebelumnya soal 'gelotology' alias ilmu yang mempelajari ketawa. Salah satu alasan kita tertawa adalah karena kita ngeliat orang lain sebagai seseorang yang 'inferior' dan itu menjadikan kita merasa 'superior'. Di American Idol - terutama pas babak awal awal, kita ketawa (at least saya ketawa) ketika ada orang-orang yang dengan PeDe-nya 'pamer kebodohan'
Talking about reality show...
In the end... itu footage dari acara pasti melalui proses editing. Sebagai videographer (ciieeh) saya sadar bahwa editing itu bisa membentuk (mem-format atau me-reka) sebuah tayangan yang saya inginkan.
Maksudnya gini... misalnya kita punya stok footage tentang 'kehidupan gembel'. Kita punya klip gembel yang sedang marah-marah, nangis, ketawa, bermain, bekerja, dimarahin, dll.
Kalo kita ingin bikin penonton simpatik, kita pake klip 'sang gembel' pas bekerja, dimarahin dan nangis. Tapi sisanya tidak kita tayangkan.
Kalo kita ingin bikin penonton sebel, kita pake klip 'sang gembel' ketika marah-marah, ngerampok, ngerusak, dan semacamnya.
Kalo kita ingin bikin penonton ngeliat sisi bahagianya, kita pake klip pas mereka sedang bermain, ketawa, bekerja, dll.
Semakin banyak footage yang kita kumpulkan, semakin banyak kemungkinan yang bisa kita ciptakan.
So...
Pada akhirnya, cuman 'orang-orang dibelakang media' yang tahu kehidupan sebenarnya. Pencapir hanya menerima, mencerna lalu kemudian (merasa) menyadari.
Mungkin pencapir (setelah menonton tayangan-nya) bakal jadi sebel, simpatik, atau lain-lainnya sama 'sang gembel'. Mereka juga (mungkin) merasa mereka mencerna dan menyadari sendiri sehingga akhirnya percaya. Tapi kesadaran ini sebenrnya adalah 'permainan psikologi' atau 'rekaan' dari orang-orang dibelakang media.
And YES! Orang di belakang media ini tidak bohong, hanya saja 'tidak menyampaikan semuanya'. Kalaupun kita punya kesempatan untuk melihat 'footage mentah' dari sebuah tayangan, itu juga tidak bisa dijadikan sumber yang nyata. Sebab pada saat menekan tombol 'RECORD', seorang videographer tentu punya kesadaran sendiri soal 'apa yang perlu direkam', dan 'yang tidak perlu direkam'. Kalaupun misalnya si kamera itu dibiarkan terus merekam, videographer masih punya 'kuasa' atas isi media sebab dialah yang mengarahkan moncong kamera ke sudut yang dia inginkan.
Sehingga pada akhirnya, satu-satunya cara untuk mengetahu KENYATAAN adalah dengan datang langsung ke lokasi. Tapi tentunya, gak banyak para penyandang (dan penyumbang) dana yang rela turun langsung ke jalanan tanah yang becek dan bau sungai mampet.
Tidak salah bila McLuhan atau Baudrillard (saya lupa yang mana, kyknya sih si Baudrillard) bilang bahwa:
We have no longer access to reality. We only have access to a media-saturated world
Kembali ke reality show....
Saya pribadi sih gak percaya sama reality show, harusnya namanya jadi hyper-reality show kali ya hehe. Dan entah kenapa, saya ngerasa kalo nonton acara-acara itu membodohi diri sendiri. Dengan ngetawain orang (kalo pamer kebodohan di American Idol), bikin taruhan (siapa yang terakhir selamet?), berpendapat buruk tentang seseorang (padahal kita gak kenal dan gak tahu situasi sebenernya di Survivor), dll...
Yang parahnya adalah, kita percaya kalo itu adalah REALITY.
Sehingga kalo (mungkin) kita ketemu orangnya mungkin bakal bilang: "eh... ini orang yang waktu itu dengan kejamnya menyingkirkan si Pemudi X. Jangan maen ama dia!"
Padahal kita ngagk kenal siapa dia sebenernya dan gimana sifat dia sebenernya.
Saya nggak anti reality show, cuman gatel aja pengen ganti namanya :p
Dan lagian... saya akui. Ngetawain orang itu menyenangkan! So... let the camera roll, dan biarkan editor memotong bagian" yang bisa bikin kita senang. Biarkan reality show tetap jalan, peserta-nya bahagia karena bisa masuk TV, kru produksi dan TV dapet gaji, orang-orang nonton dan (kemudian) punya pendapat masing-masing (yang biasanya sama).
Let it Be! Toh saya gak punya TV
hehehe
* baca juga 'BOHONG tapi NYATA' (11/02) dan 'Gelotology dan Tuyul' (20/01)
Saya liat beberapa orang yang (terlalu) percaya diri dipermalukan. Ada ketawa, ada nangis, ada pelukan, ada cacian... Sejak nonton yang pertama itu saya gak pernah nonton American Idol lagi.
Sudah sejak lama saya berenti nonton Survivor karena (menurut saya) terlalu mengekspose soal konspirasi dan saling menjatuhkan. Hence, (buat saya) bukan tontonan sehat.
Kalo liat tulisan sebelumnya soal 'gelotology' alias ilmu yang mempelajari ketawa. Salah satu alasan kita tertawa adalah karena kita ngeliat orang lain sebagai seseorang yang 'inferior' dan itu menjadikan kita merasa 'superior'. Di American Idol - terutama pas babak awal awal, kita ketawa (at least saya ketawa) ketika ada orang-orang yang dengan PeDe-nya 'pamer kebodohan'
Talking about reality show...
In the end... itu footage dari acara pasti melalui proses editing. Sebagai videographer (ciieeh) saya sadar bahwa editing itu bisa membentuk (mem-format atau me-reka) sebuah tayangan yang saya inginkan.
Maksudnya gini... misalnya kita punya stok footage tentang 'kehidupan gembel'. Kita punya klip gembel yang sedang marah-marah, nangis, ketawa, bermain, bekerja, dimarahin, dll.
Kalo kita ingin bikin penonton simpatik, kita pake klip 'sang gembel' pas bekerja, dimarahin dan nangis. Tapi sisanya tidak kita tayangkan.
Kalo kita ingin bikin penonton sebel, kita pake klip 'sang gembel' ketika marah-marah, ngerampok, ngerusak, dan semacamnya.
Kalo kita ingin bikin penonton ngeliat sisi bahagianya, kita pake klip pas mereka sedang bermain, ketawa, bekerja, dll.
Semakin banyak footage yang kita kumpulkan, semakin banyak kemungkinan yang bisa kita ciptakan.
So...
Pada akhirnya, cuman 'orang-orang dibelakang media' yang tahu kehidupan sebenarnya. Pencapir hanya menerima, mencerna lalu kemudian (merasa) menyadari.
Mungkin pencapir (setelah menonton tayangan-nya) bakal jadi sebel, simpatik, atau lain-lainnya sama 'sang gembel'. Mereka juga (mungkin) merasa mereka mencerna dan menyadari sendiri sehingga akhirnya percaya. Tapi kesadaran ini sebenrnya adalah 'permainan psikologi' atau 'rekaan' dari orang-orang dibelakang media.
And YES! Orang di belakang media ini tidak bohong, hanya saja 'tidak menyampaikan semuanya'. Kalaupun kita punya kesempatan untuk melihat 'footage mentah' dari sebuah tayangan, itu juga tidak bisa dijadikan sumber yang nyata. Sebab pada saat menekan tombol 'RECORD', seorang videographer tentu punya kesadaran sendiri soal 'apa yang perlu direkam', dan 'yang tidak perlu direkam'. Kalaupun misalnya si kamera itu dibiarkan terus merekam, videographer masih punya 'kuasa' atas isi media sebab dialah yang mengarahkan moncong kamera ke sudut yang dia inginkan.
Sehingga pada akhirnya, satu-satunya cara untuk mengetahu KENYATAAN adalah dengan datang langsung ke lokasi. Tapi tentunya, gak banyak para penyandang (dan penyumbang) dana yang rela turun langsung ke jalanan tanah yang becek dan bau sungai mampet.
Tidak salah bila McLuhan atau Baudrillard (saya lupa yang mana, kyknya sih si Baudrillard) bilang bahwa:
We have no longer access to reality. We only have access to a media-saturated world
Kembali ke reality show....
Saya pribadi sih gak percaya sama reality show, harusnya namanya jadi hyper-reality show kali ya hehe. Dan entah kenapa, saya ngerasa kalo nonton acara-acara itu membodohi diri sendiri. Dengan ngetawain orang (kalo pamer kebodohan di American Idol), bikin taruhan (siapa yang terakhir selamet?), berpendapat buruk tentang seseorang (padahal kita gak kenal dan gak tahu situasi sebenernya di Survivor), dll...
Yang parahnya adalah, kita percaya kalo itu adalah REALITY.
Sehingga kalo (mungkin) kita ketemu orangnya mungkin bakal bilang: "eh... ini orang yang waktu itu dengan kejamnya menyingkirkan si Pemudi X. Jangan maen ama dia!"
Padahal kita ngagk kenal siapa dia sebenernya dan gimana sifat dia sebenernya.
Saya nggak anti reality show, cuman gatel aja pengen ganti namanya :p
Dan lagian... saya akui. Ngetawain orang itu menyenangkan! So... let the camera roll, dan biarkan editor memotong bagian" yang bisa bikin kita senang. Biarkan reality show tetap jalan, peserta-nya bahagia karena bisa masuk TV, kru produksi dan TV dapet gaji, orang-orang nonton dan (kemudian) punya pendapat masing-masing (yang biasanya sama).
Let it Be! Toh saya gak punya TV
hehehe
* baca juga 'BOHONG tapi NYATA' (11/02) dan 'Gelotology dan Tuyul' (20/01)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home